Halal bi Halal itu adalah menyinergikan hubungan
baik dengan Allah dan sesama, bukan yang lain
ADA sebuah tradisi kreatif khas
masyarakat Muslim Tanah Air, yaitu Halal bi Halal. Satu kebiasaan yang
hanya ada di negeri kita. Halal bi Halal muncul sebagai ungkapan saling
menghalalkan kesalahan dan kekhilafan. Saling memaafkan satu sama lain. Setiap
orang sadar tidak ada yang lepas dari kesalahan. Manusia tempatnya salah dan
lupa. Idul Fitri dengan kegiatan Halal bi Halal-nya, membuat umat
Islam melebur kesalahannya dengan berbagi maaf
Ada tiga pelajaran yang bisa kita petik dari
kegiatan Halal Bi Halal.
Pelajaran pertama adalah pembersihan diri dari segala bentuk
kesalahan. Ibarat pemudik yang pulang ke kampung halamannya setelah sekian
tahun merantau ke negeri seberang. Dalam perjalanan itu tidak sedikit ia isi
dengan kesalahan, seperti lupa shalat, lalai menunaikan janji setia kepada
Allah, lupa berdzikir, bersikap angkuh atau berlaku aniaya kepada diri sendiri.
Di hari nan fitri itu kita “mudik” kepada Allah.
Kembali kepada-Nya dengan membawa proposal berisi rintihan permohonan ampun.
Memohon ampun atas dosa yang terjadi. Kita sadar bahwa diri ini penuh maksiat.
Halal bi Halal menggiring kita untuk kembali ke kampung halaman yang
sesungguhnya.
Kembali kepada ampunan Allah yang sangat luas.
Itulah makna hakiki dari kalimat Minal A`idhin wal Faizin yang artinya
“Semoga kita kembali kepada fitrah dan menang melawan hawa nafsu.” Kembali
kepada jati diri yang suci bak bayi yang lahir ke muka bumi. Bersih, bening dan
penuh ketulusan.
Pelajaran kedua dari Halal bi Halal adalah membersihkan hati dari rasa
benci kepada sesama. Pada suatu hari, ketika Nabi SAW tengah duduk-duduk dengan
para sahabatnya, ada seorang pria asing berjalan di hadapan mereka. Orang itu
berjalan lalu pergi entah ke mana.
Setelah pria asing itu berlalu, Nabi berkata
kepada para sahabat, “Dialah ahli surga.” Kalimat itu beliau ucapkan tiga kali.
Sahabat Abdullah bin Umar penasaran tentang amal perbuatan yang dikerjakannya
sampai sampai Nabi menyematinya sebagai ahli surga. Abdullah memutuskan untuk
menyusul si “ahli surga” di kediamannya. Abdullah minta izin menginap
selama 3 hari di rumahnya. Pria ini memberinya izin. Ternyata selama 3 hari itu
Abdullah tidak melihat amalan-amalannya yang istimewa. Abdullah semakin
penasaran.
Akhirnya ia bertanya, “Wahai saudaraku, sewaktu
engkau lewat di hadapan kami, Rasulullah berkata bahwa engkau adalah ahli
surga. Amalan apa yang engkau kerjakan sehingga Rasul sangat memuliakanmu?”
Pria sederhana ini menjawab, “Sesungguhnya aku tidak pernah melakukan apa-apa.
Aku tidak punya ilmu dan harta yang bisa kusedekahkan. Aku hanya punya rasa
cinta kepada Allah, Rasulullah dan sesama manusia. Setiap malam menjelang
tidur, aku selalu berusaha menguatkan rasa cinta itu sekaligus berusaha
menghilangkan rasa benci terhadap siapa saja.”
Terkadang karena persaingan bisnis atau faktor
lainnya terbesit rasa dendam dan iri hati. Mari kita singkirkan
penyakit-penyakit pengotor hati itu dalam momentum Halal bi Halal. Tidak
ada lagi kedengkian. Kita ganti dengan kelapangan jiwa. Kita obati kesombongan
dengan kerendah-hatian. Kita buang permusuhan dan kita isi dengan persaudaraan.
Pelajaran ketiga adalah memupuk kepedulian dan kebersamaan.
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa lepas dari pergaulan dan kebersamaan
yang dibangun lewat sikap tolong-menolong. Muslim yang kaya membantu saudaranya
yang miskin. Sepatutnya rasa gembira seseorang juga memberikan bentuk
kenikmatan yang lain, yaitu kenikmatan bersyukur dengan berupaya membagi
kebahagiaan itu kepada sesamanya. Kini, saatnya setiap Muslim membumikan
berkah-berkah kesalehan Ramadhan dengan menebar rasa bahagia ke setiap orang,
memupuknya, merawat dan menjaga agar mendapatkan buah indahnya ikatan
persaudaraan.
Syawal, sebagai bulan indahnya kebersamaan dalam
kasih sayang, merupakan hari-hari yang begitu membahagiakan bagi semua Muslim.
Sebuah waktu istimewa untuk dapat bersilaturahim, saling mengenal dan saling
mendoakan. Doa yang dianjurkan saat berjumpa adalah, “Taqobbalallahu minna
waminkum (Semoga Allah menerima amalanku dan amalanmu)” Kita hendaknya
berusaha mengamalkan tuntunan Rasulullah untuk memberikan kesenangan dan
kegembiraan fitri bukan saja kepada kerabat dan handai tolan, melainkan pula
kepada saudara-saudara kita yang fakir, miskin, atau dalam kondisi yang
memprihatinkan (dhu`afa), agar kelak mereka tidak lagi meminta-minta dan hidup
kesusahan, hingga kegembiraan itu terus berlanjut dalam kehidupan yang layak.
Jika semua itu bisa kita lakukan, Allah berjanji
dalam hadits Qudsi: “Cinta-Ku berhak (diperoleh) bagi orang-orang yang
saling mencintai karena-Ku, cinta-Ku berhak diperoleh bagi orang-orang mau
saling memberi karena-Ku, cinta-Ku berhak diperoleh bagi orang-orang yang mau
saling tolong menolong karena-Ku, cinta-Ku berhak diperoleh bagi orang-orang
yang saling berlaku adil karena-Ku dan cinta-Ku berhak bagi orang-orang yang
saling berziarah karena-Ku.”
Mudah-mudahan kita mampu menyinergikan Hablun
minaLlah dan Habhun minann-Nas (hubungan baik dengan Allah dan
sesama) dalam tradisi Halal bi Halal. Kepada Allah kita memohon
ampunan-Nya dan kepada sesama saudara Muslim kita saling memaafkan.*
Semoga Bermanfaat !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar