Welcome To My Blog !

Sabtu, 27 Februari 2010

Mendidik Anak Ala Luqmanul Hakim

Pendidikan anak merupakan kewajiban orang tua, baik ibu maupun bapak. Walaupun di dalam Al-Qur’an banyak merekam, bahwa kewajiban mendidik anak justru dari bapak. Seperti kisah Luqmanul Hakim. Ibu yang kesibukan banyak didalam rumah justru lebih memegang peranan yang sangat penting, yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Tapi bukan berarti pendidikan hanya dapat dilakukan ketika sang anak sudah bisa berbicara. Akan tetapi pendidikan dapat dilakukan ketika bertemunyua sperma dan ovum. Sebagaimana dikatakkan Prof. DR. Quraish Shihab, MA. “ Faktor pendidikan. Jangan menduga pendidikan ini hanya bisa dimulai saat bayi sudah bisa bicara. Yang benar adalah pendidikan dimulai sejak pertemuan sperna dan ovum”

Anak adalah dambaan, maka semua makhluk hidup menggantungkan harapan pada sang anak. Kalau pada manusia, kita menginginkan anak kita menjadi anak yang sholeh, dan bahkan lebih dari shaleh dari kita, yaitu sebagai qurrota a’yun (penyejuk mata). Ini dilukiskan QS. Al-A’raaf : 189 .

Dalam membesarkan dan mendidik anak, maka perlu digarisbawahi bahwa 2 faktor yang nantinya akan membentuk anak itu dan mempengaruhi perkembangan jiwa dan jasmaninya.

1. Faktor Keturunan.
Sering kita mendengar komentar “ Anak itu mirip bapak atau ibunya”. Karena itu jika ingin mendapatkan anak yang baik, maka pilih pasangan yang baik. Nabi sudah ingatkan : “Pilih-pilihlah tempat kamu menempatkan benihmu”. Kenapa ? Karena ada factor gen yang akan menurun kepada anak.

2. Faktor Pendidikan.
Jangan menduga pendidikan ini hanya bisa dimulai saat bayi sudah bisa bicara. Yang benar adalah pendidikan dimulai sejak pertemuan sperma dan ovum. Firman Allah SWT (QS. Al-Luqman, 31 : 13)
“ Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya : “ Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar – benar kezaliman yang besar “.
Ayat ini merupakan penggalan kisah tentang nasihat-nasihat Luqman kepada putranya. Karena ada kisah tersebut, surat ini dinamakan surat Luqman.

A.Siapa Luqmanul Hakim itu ?

1) Asal Usul Luqmanul Hakim
Para ulama berbeda pendapat mengenai siapa Luqmanul Hakim yang dimaksud dalam ayat ini. Sebagian Mufassir menyatakan, dia adalah cicit Azar (bapak Nabi Ibrahim AS). Sebagian berpendapat, dia adalah keponakan Ayyub dari bibinya. Adapun menurut Ibnu Katsir, ia adalah Luqman bin Anqa bin Sadun. Ia adalah anak dari seorang bapak yang Tsaaran. Hal ini terungkap dalam riwayat Ibnu Jarir bahwa seseorang yang berkulit hitam pernah mengadu kepada Sa’id bin Musayyib. Maka Sa’id menenangkannya dengan mengatakan : “Jangan engkau bersedih (berkecil hati) karena warna kulitmu hitam. Sesungguhnya terdapat tiga orang pilihan yang kesemuanya berkulit hitam, yaitu : Bilal, Mahja’ maula Umar bin Khathab dan Luqman Al-Hakim”. Menurut DR. Attabiq Luthfi, MA. “ Pengabadian kisah Luqman memang berbeda dengan pengabadian tokoh lain yang lebih komprehensif. Pengabadian Luqman hanya berkisar seputar nasehat dan petuahnya yang sangat layak dijadikan acuhan dalam mendidik anak secara Islami.” Para Musfassir juga berbeda pendapat tentang asal-usul, tempat tinggal, dan pekerjaannya. Tidak bisa dipastikan pendapat mana yang paling benar. Sebab, Al-Qur’an tidak merinci siapa sesungguhnya Luqman yang di maksud. Al-Qur’an hanya memberikan bahwa Luqman termasuk orang yang mendapat limpahan Al-Hikmah dari-Nya. Allah SWT berfirman : “ Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Luqman, Yaitu : “Bersyukurlah kepada Allah SWT, dan Barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), Maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri, dan Barang siapa yang tidak bersyukur, Maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Lukman, 31:12).

2) Asal Daerah Luqmanul Hakim
Terlepas dari pro kontra siapa Luqman sesungguhnya, apakah ia seorang Nabi ataukah ia hanya seorang lelaki shalih yang diberi ilmu dan hikmah, yang jelas jumhur ulama lebih cenderung memilih pendapat yang mengatakan bahwa ia hanya seorang hamba yang shalih dan ahli hikmah, bukan seorang Nabi seperti yang dikatakan oleh sebagian ulama. Gelar Al-Hakim di akhir nama Luqman tentu gelar yang tepat untuknya sesuai dengan ucapannya, perbuatan dan sikapnya yang memang menunjukkan sikap yang bijaksana.

Yang menarik disini bahwa ternyata sosok Luqman bukanlah seorang yang terpandang atau memiliki pengaruh. Ia hanya seorang hamba Habasyah yang berkulit hitam dan tidak punya kedudukan sosial yang tinggi di masyarakat. Namun hikmah yang diterimanya menjadikan ucapannya dalam bentuk pesan dan nasehat yang layak untuk diikuti oleh seluruh orang tua tanpa terkecuali.

B.Luqmanul Hakim Diberi Hikmah
Secara bahasa, Al-Hikmah berarti ketepatan dalam ucapan dan amal. Menurut Ar-Raghib, al-hikmah berarti mengetahui perkara-perkara yang ada dan mengerjakan hal-hal yang baik. Menurut Mujahid, al-hikmah adalah pemahaman, akal, dan kebenaran dalam ucapan selain kenabian. Hikmah dari Allah SWT bisa berarti benar dalam keyakinan dan pandai dalam DIN dan akal. Jumhur ulama berpandangan bahwa dia seorang hamba yang shalih, bukan nabi. Kendati bukan nabi, Luqman juga menempati derajat paling tinggi. Sebab, manusia yang derajatnya paling tinggi adalah orang yang kamil fi nafsih wa mukmil li ghayrih, yakni orang yang dirinya telah sempurna sekaligus berusaha menyempurnakan orang lain. Kesempurnaan Luqman di tunjukkan dalam ayat sebelumnya, bahwa dia termasuk hamba Allah SWT yang mendapat hikmah dari-Nya. Adapun upayanya untuk membuat orang lain menjadi sempurna terlihat pada nasihat-nasihat yang disampaikan kepada putranya. Menurut Sayid Quthb, “ Rangkaian ayat-ayat berbicara tentang Luqman dan nasihatnya yang diawali dengan anugerah hikmah kepada Luqman di ayat 12 “.

C. Pesan-Pesan Luqman Kepada Anaknya

Tujuan Pendidikan ala Luqmanul Hakim, untuk membentuk insan kamil (manusia paripurna), antara lain :

1. Tidak Mensekutukan Allah SWT. (Aqidah)
Orang tua yang bertanggung jawab terhadap pendidikan anaknya dan keselamatan hidupnya di akhirat kelak, adalah orang tua yang mendidik anaknya dengan pendidikan tauhid. Yaitu, memurnikan segala amalnya hanya untuk Allah SWT, tanpa dicampuri dengan yang lain, Orang tua dalam mendidik anak sejak kecil, adalah mengenalkan anak akan siapa Tuhannya, siapa yang mencipta dan mengurusi alam semesta ini, mengerti siapa nabinya, dan mengerti apa agamanya, sehingga anak mengerti dan faham akan tugas hidup di dunia ini, yaitu beribadah kepada Allah SWT semata dengan cara mengikuti sunnah Rasul-Nya. Sebagaimana telah dipesankan oleh Nabi Ibrahim dan Ya’qub kepada anak-anaknya : “ Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan kepada anak-anaknya, demikian Ya’qub. (Ibrahim) berkata : “Hai anak-anakku ! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama islam”. (QS. Al-Baqarah, 2:132). Dan Wasiat Nabi Ya’qub kepada anak-anaknya sebelum beliau wafat : “Apa yang akan kamu ibadahi setelah sepeninggalku ? mereka menjawab : “ Kami akan mengibadahi Ilahmu dan Ilah nenek moyangmu, Ibrahim, Isma’il dan Ishaq, yaitu (Ilah) yang Maha Esa dan kami hanya tunduk dan patuh kepada-Nya”. (QS. Al-Baqarah, 2:133).

2. Pendidikan Ibadah
Termasuk dalam pendidikan ibadah ialah perintah melakukan salat (ayat 17). Menurut Luqman memerintahkan anaknya untuk melakukan salat dengan benar karena salat merupakan tiang agama. Perintah salat Luqman kepada anaknya menurut al-Baidawi untuk menyempurnakan masyarakatnya, dan perintah bersabar atas apa yang menimpa sebagai konsekwensi salat serta dakwah yang dilakukan.

3. Berbuat Baik Kepada Kedua Orang Tua (Akhlaq)
Pendidikan akhlaq personal kepada kedua orang tua (ayat 14-15). Tujuan pendidikan akhlaq kepada kedua orang tua ini sebagai realisasi syukur nikmat atas pendidikan yang sudah diberikan. Mendidik anak untuk berbuat baik kepada orang tua ditekankan dari sedini mungkin oleh Luqmanul Hakim kepada anak-anaknya, karena orang tua adalah yang menyebabkan mereka ada di dunia ini. Pesan ini Allah abadikan dalam firman-Nya :
“Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua ibu bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun”. (QS. Luqman : 14).

Pendidikan sopan santun hendaknya diajarkan mulai sejak dini, dari mulai sopan kepada kedua orang tua, berbakti kepadanya dan tidak durhaka kepadanya. Melihat kehidupan modern sekarang, banyak anak yang tidak mengerti sopan dan santun kepada orang tuanya, bahkan tidak sedikit yang mendurhakainya. Berani kepadanya dan melawan keduanya. Bahkan tidak sedikit anak yang memperbudak orang tuanya. Mendidik anak agar mengerti sopan santun dan beradab kepada orang tua sangat ditekankan dalam Islam.

4. Menanamkan Pada Diri Anak Akan Kasih Sayang Allah SWT.
Menanamkan pada diri anak akan kasih dan sayang Allah kepadanya merupakan pendidikan yang sangat baik dan mulia. Dengan itu anak akan merasa senang dan bahagia serta optimis dalam beribadah kepada-Nya, karena setiap amalan yang ditujukan kepada-Nya akan mendapat balasan dari-Nya. Yaitu balasan pahala Jannah.

“(Luqman berkata) : “ Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau langit atau dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkan-nya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui”. (QS. Luqman : 16)

5. Mengenalkan Anak Akan Kewajiban Dia Kepada Rabbnya.
Mengenalkan anak akan kewajiban yang harus ia tunaikan dalam kehidupannya sehari-hari. Seperti,sholat, shodaqah, amar ma’ruf-nahi mungkar, syukur dan sabar.

Sebagaimana Firman Allah : “ Hai anakku, dirikanlah sholat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”. (QS. Luqman : 17)

Ketika anak mengerti dan faham akan kewajiban yang harus ia tunaikan, maka dengan sendirinya ia akan melakukan amalan tersebut dengan baik dan dengan lapang hati.

6. Mengajarkan Sopan Santun Dan Rendah Hati Kepada Anak.
Akhlak adalah penghias diri seseorang. Ia akan dihormati dan dihargai karena akhlak mulianya, sementara ia akan dihina dan dilecehkan karena kesombongan dan akhlaknya yang tercela. Pesan Sopan Santun dan merendahkan hati telah dipesankan oleh Luqmanul Hakim kepada anaknya yang termaktub dalam firman Allah SWT : “ Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanakanlah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai”. ( QS. Luqman : 18-19).

Orang akan dicintai karena akhlak dan ilmunya, bukan pangkat dan kekuasaannya. Karean pada hakekatnya kekuasaan hanyalah bersifat sementara. Akhlak yang mulia menjadi penghias diri seorang mukmin dan ia akan menjadi pakaian yang mulia. Orang tua yang bertanggung jawab akan pendidikan anaknya, maka ia akan selalu memperhatikan pendidikannya dari sejak lahir hingga baligh nanti. “Sibghoh Allah”. Dan siapakah yang lebih baik shibghohnya dari pada Allah ? Dan hanya kepada-Nya lah kami menyembah”. ( QS. Al-Baqarah, 2 : 138).

Semoga Bermanfaat !

Selasa, 23 Februari 2010

Valentine’s Day

Firman Allah SWT :
Walaa taqrabuuzzinaa innahu kaana faahisyatann wasaa asabillann
Artinya :
“ Dan janganlah kamu mendekati Zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk”. (QS. Al_Isra’, 17:32)

Valentines menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Balai Pustaka adalah Kasih Sayang yang berasal dari Romawi.

Pada Bulan Pebruari setiap pergantian tahun, virus valentine day atau hari kasih sayang terus menyebar, mengembang, dan mewabah di kalangan kawula muda atau remaja kita dewasa ini, sehingga melemahkan ketahanan terhadap norma-norma agama (Akhlaqul Karimah) yang telah diterima selama pendidikan disekolah maupun dirumah.

Valentine’s Day sudah terlanjur diyakini sebagai hari kasih sayang dan hal ini tentunya sudah tidak asing lagi terdengar di telinga remaja kita. Oleh karena itu tidaklah mengherankan bila mereka merayakan penuh dengan Euphoria, dan romantisme serta mengekspresikannya dalam bentuk cinta dan kasih sayang bersama pasangan lawan jenisnya, atau bersama sahabat dan keluarganya.

Dibalik kegembiraan yang penuh dengan gelembung kenikmatan dalam merayakan Valentine’s Day, ternyata tersembunyi kekejian (Fahisyah) dalam perilaku mereka, sederet tipu daya syaithon telah ikut mewarnai dan menjebak mereka, mulai dari hal yang berbau kencan, erotisme sampai dengan melepas kesucian keperawanan mereka.

Para remaja pada umumnya telah menjadikan hari Valentine’s Day sebagai moment untuk pergaulan bebas mereka, bahkan ada juga yang terlanjur sampai dengan melakukan ajang zina, dan yang lebih parah lagi mereka mengarah kepada tradisi “Deviatif” yaitu berupa pertukaran pasangan. Mereka tidak lagi mengindahkan norma-norma agama yang telah disyariatkan untuk mengatur pergaulan hidup manusia, baik dalam berinteraksi sosial maupun dalam beraktivitas sosial.

Hari Valentine tersebut telah mereka (para remaja) jadikan sebagai moment yang indah dan istimewa untuk mereka rayakan dalam bentuk luapan kasih sayang dan cinta yang berlebihan serta cenderung mengarah kepada kemaksiatan.

Ragam dan bentuk merayakan hari Valentine terus berkembang dan bervariasi mulai dari pemberian sebuket bunga mawar yang indah nan cantik, selembar kartu Valentine, surat cinta, SMS kasih sayang, hadiah CD lagu dan tembang romantis, pemberian pernik-pernik dan perhiasan, bersepeda dengan pasangannya, sampai dengan duduk berduaan di tepi-tepi pantai dengan beratapkan rumbia ataupun “kencan dalam” di hotel-hotel berbintang.

Seiring dengan bergulirnya masa dan waktu, silih bergantinya tahun masehi, maka setiap memasuki bulan Februari instink dan feeling para businessman sangat kuat untuk menjadikan gerai-gerai Mall mereka bergerak menjadi pangsa pasar industri yang menjanjikan dan memikat.

Dominasi warna pink menjadi andalan dekorasi digerai-gerai Mall mereka dan kawula muda menyebutnya sebagai warna kasih saying. Gerai-gerai khusus gift dan tips mereka menawarkan beraneka ragam pernik-pernik, manik-manik, parfum yang wangi, buket bunga mawar yang cantik, cokelat dalam kotak yang berbentuk hati(mengandung zat phenyletilamine, membangkitkan gairah seksual), perhiasan (cincin dan kalung), CD lagu-lagu romantis, bantal, frame foto,dan lain sebagainya sebagai symbol hati.

Begitu hebat scenario bisnis gerakan kapitalis ini, mereka memanfaatkan moment penting ini untuk mengeruk dan menggaruk keuntungan yang fantastis. Aktivitas bisnis dengan menanfaatkan moment Valentine’s Day menurut pendapat para pengamat ekonomi adalah mengarah kepada gaya hidup global dan gaya konsumerisne yang mendunia.

Ada kata-kata hikmah dari Lukman Al Hakim yang merupakan nasihat yang sangat baik bagi putranya untuk kita perhatikan, antara lain :
“ Hai anakku, sesungguhnya dunia ini lautan yang dalam telah banyak menenggalamkan orang, Maka gunakanlah iman sebagai bahtera buat mengarunginya berisikan taqwa dan berlayarkan tawakal. Semoga kamu selamat, tapi aku sendiri sangsi akan keselamatanmu.”

A.Kontroversi Latar Belakang Sejarah Valentine’S Day.

Bila kita analisa dari segi sejarah Valentine maka asal-usulnya beragam dan masing-masing memiliki versi yang berbeda-beda sehingga kita tidak mendapatkan data sejarah yang benar dan akurat.
•Apa latar belakang sejarah Valentine’s Day ?
•Adakah nuansa muatan agama pada perayaan tersebut ?
Ataukah hanya sekedar budaya global yang timbul.

Corak beragam informasi kepustakaan yang bisa kita bacam antara lain :

1.Hari Valentine yang dirayakan pada 14 Februari adalah berasal dari hari di hukum matinya seorang martir Kristen. Martir : Gelar kehormatan bagi mereka yang menolak untuk meninggalkan agama kristiani dengan kerelaan untuk mati ( The Encyclopedia Americana ).

2.Pada tanggal 14 Februari diselenggarakan perayaan adalah untuk menghormati seorang martir yang dihukum mati pada abad ke 3 masehi ( Webster New Twentieth Century Dictionary Unbridge ).

3.Pendeta Saint Valentine menentang Ide Gila Kaisar Claudius II yang telah melakukan program rekuitmen / mobilisasi tentara muda yang masih bujangan, karena kaisar beranggapan bahwa mereka lebih tabah dan lebih kuat dalam medan peperangan dari pada orang yang sudah menikah, larangan menikah diberlakukan oleh Kaisar Claudius II. Namun St. Valentine melanggar dan diam-diam ia menikahkan banyak pemuda, sehingga iapun ditangkap dan dipenjarakan, kemudian dihukum mati oleh Kaisar pada tanggal 14 Pebruari 269 M (Encyclopedia Americana, Edisi 1989).


4.St. Valentine menyatakan bahwa Tuhannya adalah Isa Al-Masih serta ia menolak menyembah Tuhan-Tuhan Romawi, mendengar hal yang demikian maka kaisar Claudius II murka, kemudian menangkap dan memenjarakan St. Valentine. Orang-orang yang simpati kepadanya banyak berkirim surat dan menaruhnya di Jeruji besi penjara (The World Book Encyclopedia, 1998).

5.Ada legenda tentang St. Valentine, pada suatu hari ia meninggalkan satu catatan pada seorang anak gadis (anak seorang sipir) yang menjadi temannya. Dalam catatan itu ia menuliskan tanda tangan yang berbunyi “Love from Your Valentine”.

6.Memudarnya aspek religiusitas pada bangsa Romawi Kuno (sejak abad k 16), sebagai penggantinya mereka mengadakan upacara Lupercalia, yaitu upacara penyembahan bangsa Romawi terhadap dewa Lupercus, yaitu dewa kesuburan pada setiap tanggal 15 Februari di bukit Palatine. Akhir dari rentetan acara tersebut, kemudian para gadis meletakkan pesan cinta mereka di dalam jambangan, setelah itu para pemuda mengambilnya pesan cinta tersebut. Selanjutnya mereka menari bersama pasangannya dan berlanjut sampai kepernikahan.

7.Pada bulan Februari tahun 494 Masehi, Dewan Gereja pimpinan Paus Gelasius mengubah upacara Lupercalia dengan Purifikasi atau pembersihan dosa dengan merubah tanggal upacara dari tanggal 15 Februari ke 14 Februari. Hal ini disesuaikan dengan hari kematian St. Valentine secara gradual.

Ternyata perayaan hari St. Valentine telah menjadi patrun bagi para penabur kasih dalam pola dan bentuk puisi, hadiah seperti bunga, gula-gula, kumpul-kumpul, pesta, dansa bahkan lebih hebat dari itu.

B.Tanggung Jawab Orang Tua Muslim Terhadap Anak
Maha Suci Allah yang telah menciptakan manusia dari jenis laki-laki dan perempuan, lalu dijadikan-Nya berpasangan dan berketurunan guna mendukung misi manusia sebagai khalifatullah di muka bumi ini. Selanjutnya Allah SWT mengutus Nabi Muhammad SAW untuk membawa agama yang suci dan mulia dengan ajarannya yang lengkap dan sempurna serta mampu membawa manusia kepuncak ketinggian akhlakul karimah, menghantarkan kepada keselamatan lahir dan bathin, serta menjamin terwujudnya kebahagiaan, baik di dunia maupun di akherat.

Tanggung jawab orang tua muslim adalah memberikan nasihat yang baik dan bijak serta persuasi yang tepat atau dengan cara dan teknik yang lain, yaitu : mengkomunikasikan hal-hal tersebut di atas kepada anak dengan cara mengajak berfikir agar tersentuh kesadaran dan keyakinannya.

Orang tua juga bisa menyampaikan cara bijak yang lain yaitu : dengan mengilustrasikan tugas Risalah kenabian Muhammad SAW, antara lain :
a)Firman Allah dalam QS. Al-Anbia’ 21-107 .
Wamaa arsalnaaka illa rahmatann lil’aalamiin
“ Dan Tidaklah kami mengutus kami, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam “. (QS. Al-Anbiya’ 21 : 107).

b)Firman Allah dalam QS. Al-Qalam 68 : 4
Wainnaka la’alaa khuluqinn ‘adziim
“ Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung “ (QS. Al-Qalam 68 : 4)
c)Hadits Riwayat Malik :
“ Sesungguhnya aku ini diutus hanyalah untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak “

d)Hadits Riwayat Abu Dawud
“ Barang siapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka “

e)Firman Allah SWT dalam Al-Baqarah, 2 : 120
“ Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka “. ( QS. Al-Baqarah, 2 : 120 )

Semoga Bermanfaat !

Jumat, 19 Februari 2010

KASIH SAYANG YES, VALENTINE NO

Realita remaja dengan segala karakternya ternyata menjadi sumber masalah juga. Salah satu kata yang mungkin paling populer di dunia ini adalah 'cinta'. Banyak cerita dan kisah seputar cinta dari yang biasa saja, cinta monyet, sampai yang mengharu-biru dan menjadi legenda seperti kisah cinta di balik pembuatan Taj Mahal. Para pujangga dengan rangkaian kata-kata yang diuntai sedemikian indahnya telah berusaha mendefinisikan arti kata cinta. Tetapi, tetap saja, makna 'cinta' terlalu luas dan dalam untuk diterjemahkan ke dalam kata-kata.

Bulan Februari ini, tidak sedikit anak muda juga para pelajar yang ikut-ikutan merayakan Valentine's Day yang notabene bukan tradisi dalam Islam. Perayaan valentine's day yang dimaksudkan untuk mengenang jasa seorang pendeta Nasrani pada abad ke-4 karena telah mempersatukan dua anak muda yang saling mencintai ini sudah masuk dan diadopsi masyarakat Indonesia secara luas. Kebiasaan merayakan hari 'kasih sayang' ini begitu saja ditiru tanpa mengetahui latar belakang sejarah di baliknya.

Banyak remaja yang mengaku tidak mengetahui sejarah diperingatinya tanggal 14 Februari sebagai Valentine's Day. Kebanyakan mereka hanya ikut-ikutan merayakan bersama teman-temannya. Seperti yang dialami Selvi, 20 tahun, setiap tahun dia merayakan bersama pacar dan teman-temannya. Makna valentine's day sendiri tidak begitu penting baginya. Hanya bagi Selvi dan pacarnya, everyday is valentine's day.

“Biasanya kita cuma makan-makan bareng teman sama tukaran kado juga cokelat. Kalau momen valentin saya nggak merasa penting banget si. Kasih sayang kan nggak cukup setahun sekali. Masak harus nunggu satu tahun untuk mengungkapkan rasa sayang,” ujarnya.

Senada dengan Selvi, Nika, 20 tahun, juga menganggap tidak ada yang spesial dengan Valentine's Day. Menurutnya itu hanya ikut-ikutan budaya Barat. “Tidak penting. Saya pribadi tidak menganggapnya spesial. Kalau diajakin teman ya saya cuma ikutan saja,” ujar Nika yang mengaku pernah mendengar sejarah valentine's day.

Realita remaja dengan segala karakternya ternyata menjadi sumber masalah juga. Dalam pandangan Islam, konsep pergaulan atau hubungan dengan lawan jenis sudah diatur secara detail. Mbak Afifah Afra, Ketua FLP Jawa Tengah yang juga berkecimpung di dunia remaja, mengatakan batasannya sudah diatur dalam Islam, yaitu dengan ikatan pernikahan.

Tidak ada istilah pacaran dalam Islam jika diasosiasikan dengan hubungan antarlawan jenis. “Kalau sudah merasa siap, ya nikah saja. Cuma harus dilihat juga kesiapannya, karena bukan hanya fisiologis atau biologis saja tapi psikologis perlu diperhatikan,” jelasnya menanggapi banyaknya remaja yang ikut-ikutan tren berpacaran. Menurutnya budaya pacaran memang sudah sangat mengkhawatirkan. Sekarang seorang remaja akan dianggap kuper atau tidak gaul kalau tidak punya pacar. “Padahal Islam nggak menganjurkan.”

Perayaan valentine's day bagi remaja tentu saja menarik. Bagaimana tidak, seluruh media seakan mendukung dan ikut membesar-besarkan hari 'kasih sayang' ini. Acara TV, iklan, media cetak khususnya segmen remaja secara kompak mengangkat tema ini. Tidak berhenti di situ saja. Ternyata momen ini dimanfaatkan oleh para pengusaha untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Toko-toko besar dan mall pun tak kalah meriah mendesain lokasi belanja dengan nuansa full-valentine. Ada banyak simbol hati dngan segala bentuknya yang beraneka rupa.


Cinta Sebagai Pilar Ibadah

Cinta sendiri membuat orang susah untuk mendefinsikannya dengan kata-kata. Eni mengatakan cinta itu ya sayang, menurutnya ada perbedaan antara cinta dengan kasih sayang. Tapi bedanya apa, dia sendiri bingung menjelaskan karena cinta begitu luas. Yang jelas cinta kepada Allah swt. sebagai Tuhan Pemilik semesta itu wajib, begitu juga cinta kepada orang tua atau saudara-saudara.

“Cinta itu sesuatu yang mengiringi pertumbuhan manusia. Manusia lahir ke dunia karena cinta, begitu juga tumbuh besar perlu cinta. Manusia hidup tanpa cinta akan terasa hambar, malah bisa-bisa tidak tumbuh secara normal. Tetapi bagi remaja perlu diarahkan agar tidak menyimpang atau melebihi porsi yang seharusnya.”

Kemurnian cinta diibaratkan Mbak Afra seperti emas 24 karat. Cinta yang murni bersifat menumbuhkan, memberi inspirasi dan semangat bagi kehidupan seseorang. “Seperti halnya warna, cinta itu sebenarnya berwarna putih, tetapi karena ada polutan-polutan (kotoran – red) akhirnya menjadi abu-abu 10%, misalnya. Polutan dari cinta itu adalah nafsu atau syahwat. Dan ini wajar sangat manusiawi. Emas yang paling bagus untuk dibuat sebagai perhiasan adalah yang 22 karat, bukan 24 karat karena terlalu lunak untuk dibentuk. Itulah cinta, nafsu bisa memperindahnya sesuai kadarnya yang tepat. Jika cinta itu selalu 100% tentu semuanya akan terasa monoton dan sangat membosankan.”

Mbak Afra menyebut salah satu Ayat dalam Al-Qur'an untuk menjelaskan tentang fitrah cinta ini, yakni Surah Ali Imron Ayat 14. “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).”

Pada akhirnya, cinta akan terasa manfaatnya secara maksimal tatkala menjadi landasan dalam beribadah kepada Sang Pencipta. Menurut Mbak Afra cinta termasuk salah satu pilar ibadah di samping dua lainnya, yaitu khauf (rasa takut) dan raja' (harapan). Tetapi jika cinta sudah menjadi landasan ibadah, “Masya Allah.”

Semoga Bermanfaat!


MENDIDIK ANAK TAAT SYARIAH

Menjadi orangtua pada zaman globalisasi saat ini tidak mudah. Apalagi jika orangtua mengharapkan anaknya tidak sekadar menjadi anak yang pintar, tetapi juga taat dan salih. Menyerahkan pendidikan sepenuhnya kepada sekolah tidaklah cukup. Mendidik sendiri dan membatasi pergaulan di rumah juga tidak mungkin. Membiarkan mereka lepas bergaul di lingkungannya cukup berisiko. Lalu, bagaimana cara menjadi orangtua yang bijak dan arif untuk menjadikan anak-anaknya taat pada syariah?

Pertama : Asah Akal Anak untuk Berpikir yang Benar

Hampir setiap orangtua mengeluhkan betapa saat ini sangat sulit mendidik anak. Bukan saja sikap anak-anak zaman sekarang yang lebih berani dan agak ’sulit diatur’, tetapi juga tantangan arus globalisasi budaya, informasi, dan teknologi yang turut memiliki andil besar dalam mewarnai sikap dan perilaku anak.
“Anak-anak sekarang beda dengan anak-anak dulu. Anak dulu kan takut dan segan sama orangtua dan guru. Sekarang, anak berani membantah dan susah diatur. Ada saja alasan mereka!”

Begitu rata-rata komentar para orangtua terhadap anaknya. Yang paling sederhana, misalnya, menyuruh anak shalat. Sudah jamak para ibu ngomel-ngomel, bahkan sambil membentak, atau mengancam sang anak agar mematikan TV dan segera shalat. Di satu sisi banyak juga ibu-ibu yang enggan mematikan telenovela/sinetron kesayangannya dan menunda shalat. Fenomena ini jelas membingungkan anak.

Pandai dan beraninya anak-anak sekarang dalam berargumen untuk menolak perintah atau nasihat, oleh sebagian orangtua atau guru, mungkin dianggap sebagai sikap bandel atau susah diatur. Padahal bisa jadi hal itu karena kecerdasan atau keingintahuannya yang besar membuat dia menjawab atau bertanya; tidak melulu mereka menurut dan diam (karena takut) seperti anak-anak zaman dulu.

Dalam persoalan ini, orangtua haruslah memperhatikan dua hal yaitu: Pertama, memberikan informasi yang benar, yaitu yang bersumber dari ajaran Islam. Informasi yang diberikan meliputi semua hal yang menyangkut rukun iman, rukun Islam dan hukum-hukum syariah. Tentu cara memberikannya bertahap dan sesuai dengan kemampuan nalar anak. Yang penting adalah merangsang anak untuk mempergunakan akalnya untuk berpikir dengan benar. Pada tahap ini orangtua dituntut untuk sabar dan penuh kasih sayang. Sebab, tidak sekali diajarkan, anak langsung mengerti dan menurut seperti keinginan kita. Dalam hal shalat, misalnya, tidak bisa anak didoktrin dengan ancaman, “Pokoknya kalau kamu nggak shalat dosa. Mama nggak akan belikan hadiah kalau kamu malas shalat!”

Ajak dulu anak mengetahui informasi yang bisa merangsang anak untuk menalar mengapa dia harus shalat. Lalu, terus-menerus anak diajak shalat berjamaah di rumah, juga di masjid, agar anak mengetahui bahwa banyak orang Muslim yang lainnya juga melakukan shalat.

Kedua : Jadilah Anda teladan pertama bagi anak.

Ini untuk menjaga kepercayaan anak agar tidak ganti mengomeli Anda—karena Anda hanya pintar mengomel tetapi tidak pintar memberikan contoh.
Terbiasa memahami persoalan dengan berpatokan pada informasi yang benar adalah cara untuk mengasah ketajaman mereka menggunakan akalnya. Kelak, ketika anak sudah sempurna akalnya, kita berharap, mereka mempunyai prinsip yang tegas dan benar; bukan menjadi anak yang gampang terpengaruh oleh tren pergaulan atau takut dikatakan menjadi anak yang tidak ‘gaul’.

Ketiga : Tanamkan Akidah dan Syariah Sejak Dini

Menanamkan akidah yang kokoh adalah tugas utama orangtua. Orangtualah yang akan sangat mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya sendi-sendi agama dalam diri anak. Rasulullah saw. bersabda:

Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Ibu dan bapaknyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. (HR al-Bukhari).

Tujuan penanaman akidah pada anak adalah agar si anak mengenal betul siapa Allah. Sejak si bayi dalam kandungan, seorang ibu bisa memulainya dengan sering bersenandung mengagungkan asma Allah. Begitu sudah lahir, orangtua mempunyai kesempatan untuk membiasakan si bayi mendengarkan ayat-ayat al-Quran. Pada usia dini anak harus diajak untuk belajar menalar bahwa dirinya, orangtuanya, seluruh keluarganya, manusia, dunia, dan seluruh isinya diciptakan oleh Allah. Itu sebabnya mengapa manusia harus beribadah dan taat kepada Allah.

Lebih jauh, anak dikenalkan dengan asma dan sifat-sifat Allah. Dengan begitu, anak mengetahui betapa Allah Mahabesar, Mahaperkasa, Mahakaya, Mahakasih, Maha Melihat, Maha Mendengar, dan seterusnya. Jika anak bisa memahaminya dengan baik, insya Allah, akan tumbuh sebuah kesadaran pada anak untuk senantiasa mengagungkan Allah dan bergantung hanya kepada Allah. Lebih dari itu, kita berharap, dengan itu akan tumbuh benih kecintaan anak kepada Allah; cinta yang akan mendorongnya gemar melakukan amal yang dicintai Allah.

Penanaman akidah pada anak harus disertai dengan pengenalan hukum-hukum syariah secara bertahap. Proses pembelajarannya bisa dimulai dengan memotivasi anak untuk senang melakukan hal-hal yang dicintai oleh Allah, misalnya, dengan mengajak shalat, berdoa, atau membaca al-Quran bersama.

Yang tidak kalah penting adalah menanamkan akhlâq al-karîmah seperti berbakti kepada orangtua, santun dan sayang kepada sesama, bersikap jujur, berani karena benar, tidak berbohong, bersabar, tekun bekerja, bersahaja, sederhana, dan sifat-sifat baik lainnya. Jangan sampai luput untuk mengajarkan itu semua semata-mata untuk meraih ridha Allah, bukan untuk mendapatkan pujian atau pamrih duniawi.

Keempat : Kerjasama Ayah dan Ibu

Tentu saja, anak akan lebih mudah memahami dan mengamalkan hukum jika dia melihat contoh real pada orangtuanya. Orangtua adalah guru dan orang terdekat bagi si anak yang harus menjadi panutan. Karenanya, orangtua dituntut untuk bekerja keras untuk memberikan contoh dalam memelihara ketaatan serta ketekunan dalam beribadah dan beramal salih. Insya Allah, dengan begitu, anak akan mudah diingatkan secara sukarela.

Keberhasilan mengajari anak dalam sebuah keluarga memerlukan kerjasama yang kompak antara ayah dan ibu. Jika ayah dan ibu masing-masing mempunyai target dan cara yang berbeda dalam mendidik anak, tentu anak akan bingung, bahkan mungkin akan memanfaatkan orangtua menjadi kambing hitam dalam kesalahan yang dilakukannya. Ambil contoh, anak yang mencari-cari alasan agar tidak shalat. Ayahnya memaksanya agar shalat, sementara ibunya malah membelanya. Dalam kondisi demikian, jangan salahkan anak jika dia mengatakan, “Kata ibu boleh nggak shalat kalau lagi sakit. Sekarang aku kan lagi batuk, nih…”

Kelima : Peran Lingkungan, Keluarga, dan Masyarakat

Pendidikan yang diberikan oleh orangtua kepada anak belumlah cukup untuk mengantarkan si anak menjadi manusia yang berkepribadian Islam. Anak juga membutuhkan sosialisasi dengan lingkungan tempat dia beraktivitas, baik di sekolah, sekitar rumah, maupun masyarakat secara luas.

Di sisi inilah, lingkungan dan masyarakat memiliki peran penting dalam pendidikan anak. Masyarakat yang menganut nilai-nilai, aturan, dan pemikiran Islam, seperti yang dianut juga oleh sebuah keluarga Muslim, akan mampu mengantarkan si anak menjadi seorang Muslim sejati.

Potret masyarakat sekarang yang sangat dipengaruhi oleh nilai dan pemikiran materialisme, sekularisme, permisivisme, hedonisme, dan liberalisme merupakan tantangan besar bagi keluarga Muslim. Hal ini yang menjadikan si anak hidup dalam sebuah lingkungan yang membuatnya berada dalam posisi dilematis. Di satu sisi dia mendapatkan pengajaran Islam dari keluarga, namun di sisi lain anak bergaul dalam lingkungan yang sarat dengan nilai yang bertentangan dengan Islam.

Tarik-menarik pengaruh lingkungan dan keluarga akan mempengaruhi sosok pribadi anak. Untuk mengatasi persoalan ini, maka dakwah untuk mengubah sistem masyarakat yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam mutlak harus di lakukan. Hanya dengan itu akan muncul generasi Islam yang taat syariah. Insya Allah.

Sembilan Tips Mendidik Anak Taat Syariah
  1. Tumbuhkan kecintaan pertama dan utama kepada Allah.
  2. Ajak anak Anda mengidolakan pribadi Rasulullah.
  3. Ajak anak Anda terbiasa menghapal, membaca, dan memahami al-Quran.
  4. Tanamkan kebiasaan beramal untuk meraih surga dan kasih sayang Allah.
  5. Siapkan reward (penghargaan) dan sakgsi yang mendidik untuk amal baik dan amal buruknya.
  6. Yang terpenting, Anda menjadi teladan dalam beribadah dan beramal salih.
  7. Ajarkan secara bertahap hukum-hukum syariah sebelum usia balig.
  8. Ramaikan rumah, mushola, dan masjid di lingkungan Anda dengan kajian Islam, dimana Anda dan anak Anda berperan aktif.
  9. Ajarkan anak bertanggung jawab terhadap kewajiban-kewajiban untuk dirinya, keluarganya, lingkungannya, dan dakwah Islam.
Semoga Bermanfaat !


Mengenal Allah

Tak kenal maka tak sayang, demikian bunyi pepatah. Banyak orang mengaku mengenal Allah, tapi mereka tidak cinta kepada Allah. Buktinya, mereka banyak melanggar perintah dan larangan Allah. Sebabnya, ternyata mereka tidak mengenal Allah dengan sebenarnya.

Sekilas, membahas persoalan bagaimana mengenal Allah bukan sesuatu yang asing. Bahkan mungkin ada yang mengatakan untuk apa hal yang demikian itu dibahas? Bukankah kita semua telah mengetahui dan mengenal pencipta kita? Bukankah kita telah mengakui itu semua?

Kalau mengenal Allah sebatas di masjid, di majelis dzikir, atau di majelis ilmu atau mengenal-Nya ketika tersandung batu, ketika mendengar kematian, atau ketika mendapatkan musibah dan mendapatkan kesenangan, barangkali akan terlontar pertanyaan demikian.

Yang dimaksud dalam pembahasan ini yaitu mengenal Allah yang akan membuahkan rasa takut kepada-Nya, tawakal, berharap, menggantungkan diri, dan ketundukan hanya kepada-Nya. Sehingga kita bisa mewujudkan segala bentuk ketaatan dan menjauhi segala apa yang dilarang oleh-Nya. Yang akan menenteramkan hati ketika orang-orang mengalami gundah-gulana dalam hidup, mendapatkan rasa aman ketika orang-orang dirundung rasa takut dan akan berani menghadapi segala macam problema hidup.

Faktanya, banyak yang mengaku mengenal Allah tetapi mereka selalu bermaksiat kepada-Nya siang dan malam. Lalu apa manfaat kita mengenal Allah kalau keadaannya demikian? Dan apa artinya kita mengenal Allah sementara kita melanggar perintah dan larangan-Nya?

Maka dari itu mari kita menyimak pembahasan tentang masalah ini, agar kita mengerti hakikat mengenal Allah dan bisa memetik buahnya dalam wujud amal.

Mengenal Allah ada empat cara yaitu mengenal wujud Allah, mengenal Rububiyah Allah, mengenal Uluhiyah Allah, dan mengenal Nama-nama dan Sifat-sifat Allah.

Keempat cara ini telah disebutkan Allah di dalam Al Qur’an dan di dalam As Sunnah baik global maupun terperinci.

Ibnul Qoyyim dalam kitab Al Fawaid hal 29, mengatakan: “Allah mengajak hamba-Nya untuk mengenal diri-Nya di dalam Al Qur’an dengan dua cara yaitu pertama, melihat segala perbuatan Allah dan yang kedua, melihat dan merenungi serta menggali tanda-tanda kebesaran Allah seperti dalam firman-Nya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian siang dan malam terdapat (tanda-tanda kebesaran Allah) bagi orang-orang yang memiliki akal.” (QS. Ali Imran: 190)

Juga dalam firman-Nya yang lain: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang, serta bahtera yang berjalan di lautan yang bermanfaat bagi manusia.” (QS. Al Baqarah: 164)

Mengenal Wujud Allah.

Yaitu beriman bahwa Allah itu ada. Dan adanya Allah telah diakui oleh fitrah, akal, panca indera manusia, dan ditetapkan pula oleh syari’at.

Ketika seseorang melihat makhluk ciptaan Allah yang berbeda-beda bentuk, warna, jenis dan sebagainya, akal akan menyimpulkan adanya semuanya itu tentu ada yang mengadakannya dan tidak mungkin ada dengan sendirinya. Dan panca indera kita mengakui adanya Allah di mana kita melihat ada orang yang berdoa, menyeru Allah dan meminta sesuatu, lalu Allah mengabulkannya. Adapun tentang pengakuan fitrah telah disebutkan oleh Allah di dalam Al Qur’an: “Dan ingatlah ketika Tuhanmu menurunkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman ): ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu’ Mereka menjawab: ‘(Betul Engkau Tuhan kami) kami mempersaksikannya (Kami lakukan yang demikian itu) agar kalian pada hari kiamat tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami bani Adam adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan-Mu) atau agar kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu sedangkan kami ini adalah anak-anak keturunan yang datang setelah mereka.’.” (QS. Al A’raf: 172-173)

Ayat ini merupakan dalil yang sangat jelas bahwa fitrah seseorang mengakui adanya Allah dan juga menunjukkan, bahwa manusia dengan fitrahnya mengenal Rabbnya. Adapun bukti syari’at, kita menyakini bahwa syari’at Allah yang dibawa para Rasul yang mengandung maslahat bagi seluruh makhluk, menunjukkan bahwa syari’at itu datang dari sisi Dzat yang Maha Bijaksana. (Lihat Syarah Aqidah Al Wasithiyyah Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin hal 41-45)

Mengenal Rububiyah Allah
Rububiyah Allah adalah mengesakan Allah dalam tiga perkara yaitu penciptaan-Nya, kekuasaan-Nya, dan pengaturan-Nya. (Lihat Syarah Aqidah Al Wasithiyyah Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin hal 14)

Maknanya, menyakini bahwa Allah adalah Dzat yang menciptakan, menghidupkan, mematikan, memberi rizki, mendatangkan segala mamfaat dan menolak segala mudharat. Dzat yang mengawasi, mengatur, penguasa, pemilik hukum dan selainnya dari segala sesuatu yang menunjukkan kekuasaan tunggal bagi Allah.

Dari sini, seorang mukmin harus meyakini bahwa tidak ada seorangpun yang menandingi Allah dalam hal ini. Allah mengatakan: “’Katakanlah!’ Dialah Allah yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya sgala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan-Nya.” (QS. Al Ikhlash: 1-4)

Maka ketika seseorang meyakini bahwa selain Allah ada yang memiliki kemampuan untuk melakukan seperti di atas, berarti orang tersebut telah mendzalimi Allah dan menyekutukan-Nya dengan selain-Nya.

Dalam masalah rububiyah Allah sebagian orang kafir jahiliyah tidak mengingkarinya sedikitpun dan mereka meyakini bahwa yang mampu melakukan demikian hanyalah Allah semata. Mereka tidak menyakini bahwa apa yang selama ini mereka sembah dan agungkan mampu melakukan hal yang demikian itu. Lalu apa tujuan mereka menyembah Tuhan yang banyak itu? Apakah mereka tidak mengetahui jikalau ‘tuhan-tuhan’ mereka itu tidak bisa berbuat apa-apa? Dan apa yang mereka inginkan dari sesembahan itu?

Allah telah menceritakan di dalam Al Qur’an bahwa mereka memiliki dua tujuan. Pertama, mendekatkan diri mereka kepada Allah dengan sedekat-dekatnya sebagaimana firman Allah:

“Dan orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai penolong (mereka mengatakan): ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan agar mereka mendekatkan kami di sisi Allah dengan sedekat-dekatnya’.” (Az Zumar: 3 )

Kedua, agar mereka memberikan syafa’at (pembelaan ) di sisi Allah. Allah berfirman:

“Dan mereka menyembah selain Allah dari apa-apa yang tidak bisa memberikan mudharat dan manfaat bagi mereka dan mereka berkata: ‘Mereka (sesembahan itu) adalah yang memberi syafa’at kami di sisi Allah’.” (QS. Yunus: 18, Lihat kitab Kasyfusy Syubuhat karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab)

Keyakinan sebagian orang kafir terhadap tauhid rububiyah Allah telah dijelaskan Allah dalam beberapa firman-Nya:
“Kalau kamu bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan mereka? Mereka akan menjawab Allah.” (QS. Az Zukhruf: 87)
“Dan kalau kamu bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan langit dan bumi dan yang menundukkan matahari dan bulan? Mereka akan mengatakan Allah.” (QS. Al Ankabut: 61)
“Dan kalau kamu bertanya kepada mereka siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan bumi setelah matinya? Mereka akan menjawab Allah.” (QS. Al Ankabut: 63)

Demikianlah Allah menjelaskan tentang keyakinan mereka terhadap tauhid Rububiyah Allah. Keyakinan mereka yang demikian itu tidak menyebabkan mereka masuk ke dalam Islam dan menyebabkan halalnya darah dan harta mereka sehingga Rasulullah mengumumkan peperangan melawan mereka.

Makanya, jika kita melihat kenyataan yang terjadi di tengah-tengah kaum muslimin, kita sadari betapa besar kerusakan akidah yang melanda saudara-saudara kita. Banyak yang masih menyakini bahwa selain Allah, ada yang mampu menolak mudharat dan mendatangkan mamfa’at, meluluskan dalam ujian, memberikan keberhasilan dalam usaha, dan menyembuhkan penyakit. Sehingga, mereka harus berbondong-bondong meminta-minta di kuburan orang-orang shalih, atau kuburan para wali, atau di tempat-tempat keramat.

Mereka harus pula mendatangi para dukun, tukang ramal, dan tukang tenung atau dengan istilah sekarang paranormal. Semua perbuatan dan keyakinan ini, merupakan keyakinan yang rusak dan bentuk kesyirikan kepada Allah.

Ringkasnya, tidak ada yang bisa memberi rizki, menyembuhkan segala macam penyakit, menolak segala macam marabahaya, memberikan segala macam manfaat, membahagiakan, menyengsarakan, menjadikan seseorang miskin dan kaya, yang menghidupkan, yang mematikan, yang meluluskan seseorang dari segala macam ujian, yang menaikkan dan menurunkan pangkat dan jabatan seseorang, kecuali Allah. Semuanya ini menuntut kita agar hanya meminta kepada Allah semata dan tidak kepada selain-Nya.

Mengenal Uluhiyah Allah
Uluhiyah Allah adalah mengesakan segala bentuk peribadatan bagi Allah, seperti berdo’a, meminta, tawakal, takut, berharap, menyembelih, bernadzar, cinta, dan selainnya dari jenis-jenis ibadah yang telah diajarkan Allah dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Memperuntukkan satu jenis ibadah kepada selain Allah termasuk perbuatan dzalim yang besar di sisi-Nya yang sering diistilahkan dengan syirik kepada Allah.
Allah berfirman di dalam Al Qur’an:
“Hanya kepada-Mu ya Allah kami menyembah dan hanya kepada-Mu ya Allah kami meminta.” (QS. Al Fatihah: 5)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah membimbing Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu dengan sabda beliau:
“Dan apabila kamu minta maka mintalah kepada Allah dan apabila kamu minta tolong maka minta tolonglah kepada Allah.” (HR. Tirmidzi)

Allah berfirman:
“Dan sembahlah Allah dan jangan kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun” (QS. An Nisa: 36)

Allah berfirman:
“Hai sekalian manusia sembahlah Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, agar kalian menjadi orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Al Baqarah: 21)

Dengan ayat-ayat dan hadits di atas, Allah dan Rasul-Nya telah jelas mengingatkan tentang tidak bolehnya seseorang untuk memberikan peribadatan sedikitpun kepada selain Allah karena semuanya itu hanyalah milik Allah semata.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Allah berfirman kepada ahli neraka yang paling ringan adzabnya. ‘Kalau seandainya kamu memiliki dunia dan apa yang ada di dalamnya dan sepertinya lagi, apakah kamu akan menebus dirimu? Dia menjawab ya. Allah berfirman: ‘Sungguh Aku telah menginginkan darimu lebih rendah dari ini dan ketika kamu berada di tulang rusuknya Adam tetapi kamu enggan kecuali terus menyekutukan-Ku.” ( HR. Muslim dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu )

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Allah berfirman dalam hadits qudsi: “Saya tidak butuh kepada sekutu-sekutu, maka barang siapa yang melakukan satu amalan dan dia menyekutukan Aku dengan selain-Ku maka Aku akan membiarkannya dan sekutunya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu )

Contoh konkrit penyimpangan uluhiyah Allah di antaranya ketika seseorang mengalami musibah di mana ia berharap bisa terlepas dari musibah tersebut. Lalu orang tersebut datang ke makam seorang wali, atau kepada seorang dukun, atau ke tempat keramat atau ke tempat lainnya. Ia meminta di tempat itu agar penghuni tempat tersebut atau sang dukun, bisa melepaskannya dari musibah yang menimpanya. Ia begitu berharap dan takut jika tidak terpenuhi keinginannya. Ia pun mempersembahkan sesembelihan bahkan bernadzar, berjanji akan beri’tikaf di tempat tersebut jika terlepas dari musibah seperti keluar dari lilitan hutang.

Ibnul Qoyyim mengatakan: “Kesyirikan adalah penghancur tauhid rububiyah dan pelecehan terhadap tauhid uluhiyyah, dan berburuk sangka terhadap Allah.”

Mengenal Nama-nama dan Sifat-sifat Allah

Maksudnya, kita beriman bahwa Allah memiliki nama-nama yang Dia telah menamakan diri-Nya dan yang telah dinamakan oleh Rasul-Nya. Dan beriman bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang tinggi yang telah Dia sifati diri-Nya dan yang telah disifati oleh Rasul-Nya. Allah memiliki nama-nama yang mulia dan sifat yang tinggi berdasarkan firman Allah:

“Dan Allah memiliki nama-nama yang baik.” (Qs. Al A’raf: 186)

“Dan Allah memiliki permisalan yang tinggi.” (QS. An Nahl: 60)

Dalam hal ini, kita harus beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah sesuai dengan apa yang dimaukan Allah dan Rasul-Nya dan tidak menyelewengkannya sedikitpun. Imam Syafi’i meletakkan kaidah dasar ketika berbicara tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah sebagai berikut: “Aku beriman kepada Allah dan apa-apa yang datang dari Allah dan sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Allah. Aku beriman kepada Rasulullah dan apa-apa yang datang dari Rasulullah sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Rasulullah” (Lihat Kitab Syarah Lum’atul I’tiqad Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin hal 36)

Ketika berbicara tentang sifat-sifat dan nama-nama Allah yang menyimpang dari yang dimaukan oleh Allah dan Rasul-Nya, maka kita telah berbicara tentang Allah tampa dasar ilmu. Tentu yang demikian itu diharamkan dan dibenci dalam agama. Allah berfirman:
“Katakanlah: ‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tampa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah (keterangan) untuk itu dan (mengharamkan) kalian berbicara tentang Allah tampa dasar ilmu.” (QS. Al A’raf: 33)

“Dan janganlah kamu mengatakan apa yang kamu tidak memiliki ilmu padanya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya akan diminta pertanggungan jawaban.” (QS. Al Isra: 36)

Wallahu ‘alam

Semoga Bermanfaat!


Silaturahim (Ikhtiar Menuju Trasendensi dan Ummah)

Dalam buku The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Iqbal mengutip sebuah hadis Nabi saw. yang berbunyi : Takhallaqu bi akhlaqillah yang artinya "berakhlaklah dengan akhlak Allah". Pada dasarnya manusia memiliki ego yang hidup, berkembang dan mempunyai kekuatan sendiri. Dalam pandangan Iqbal, ego merupakan suatu kekuatan yang akan mengantarkan manusia ke tingkat hidup yang lebih tinggi dan mulia, hingga ia mencapai tahap insan. Ego dalam diri insan inilah yang menghantarkan manusia menjadi pribadi. Dengan memperkuat pribadi (ego), manusia dapat mendekati Ego Mahabesar, Tuhan dengan segala kesempurnaan-Nya. Dengan kekuatan ego ini, manusia akan mengejawantahkan (sifat-sifat) Tuhan dalam dirinya.

Tatkala dibenturkan dengan kenyataan sosialnya-- dalam sebuah realitas sosial yang absurd yakni saat modus interaksi sosial di tingkat kultur dan struktur, sumber -sumber otentik Islam (Al-Quran dan Sunnah) tidak dijadikan bingkai rujukan- manusia Muslim seringkali berada pada noktah krisis eksistensial. Terlebih lagi ketika idealita yang menjadi obsesi dan dambaan hidup begitu paradoks dengan kenyataan yang ada. Di sini, penjara kenyataan masyarakat telah menjauhkan manusia dari misi sucinya, yakni tatkala ia tidak mampu membuktikan sosoknya sebagai aktor sejarah. Alih-alih menjadi aktor sejarah, ia terpola dengan persepsi dan formalitas masyarakat -yang karena dibentuk dengan sistem nilai yang lain- dengan sifatnya yang nisbi.

Bagi seorang Mukmin sejati persoalan-persoalan tersebut takkan menjadi keniscayaan jika hubungan-hubungan simbiotik-organik -baik di antara sesama Mukmin sebagai aktor sejarah maupun rumusan-rumusan gagasan interpretatifnya atas kenyataan sosial- begitu terjalin secara tegas dan erat. Bentuk-bentuk hubungan ini akan terjadi melalui silaturahim. Secara harfiah, silaturahim tidak hanya bermakna menyambungkan tali kasih sayang. Akan tetapi, lebih jauh mempunyai potensi untuk mengubah bangunan-bangunan sosial yang ada bila dilakukan secara intensif, memiliki kekuatan informatif, dan teratur.

Menempatkan silaturahim secara signifikan dalam aktivitas kesejarahan komunitas Syi’ah -secara khusus, dengan meminjam ujaran Ali Syari’ati (1993) ihwal tanggung jawab sejarah- berarti mendudukkan silaturahim secara fungsional yakni: (1) sebagai proses integrasi pada kekuatan sejarah; (2) sebagai proses transformasi dan pelembagaan sistem nilai; (3) sebagai proses aktualisasi sunnah yang hidup.

Berikut penjelasan secara sederhana ihwal fungsi -fungsi silaturahim :

1. Sebagai proses integrasi pada kekuatan sejarah
Kepentingan pertama silaturahim adalah menjadikannya sebagai proses integrasi pada kekuatan sejarah. Ada hubungan dialektis pada silaturahim dalam budaya khas dengan bingkai masyarakat Muslim. Pertama, silaturahim terwujud karena kesadaran mendalam akan eksistensi diri, yaitu kesadaran yang dibangun atas dasar pembuktian akan kebenaran secara rasional Islam vis a vis sistem keyakinan ideologi lain -baik secara normatif maupun historis- dalam bentuk manifestasinya ke tingkat praksis kehidupan. Kedua, silaturahim akan membangun kesadaran setiap individu akan beban sejarah -dalam ujaran Syari’ati, ini disebut tanggung jawab sosial Syi’ah- yang karenanya maka hidupnya akan menyejarah dan bukan menyerah pada sejarah.
Proses integrasi ini tercapai karena terjadinya diskursus intelektual dan spiritual yang harmonis, sehingga mampu mengatasi kebekuan dan berbagai krisis eksistensial yang mungkin terjadi, dan akan menjadikan kenyataan sosial sebagai tantangan, peluang, dan harapan untuk meraih buah spiritual. Silaturahim, dengan demikian, berfungsi sebagai "ice-breaker" (pemecah kebekuan) atas kenyataan sosial.
Ringkasnya, elan vital (semangat dasar) silaturahim sebagai proses integrasi ini akan menjadikan bangunan masyarakat Muslim sebagai sebuah keniscayaan.

2. Sebagai proses transformasi dan pelembagaan sistem nilai.
Silaturahim sebagai proses transformasi dan pelembagaan sistem nilai akan mengukuhkan sistem nilai itu sendiri sehingga tidak pernah memberi ruang terjadinya akumulasi secara teoretis, namun secara tepat akan mengatasi seluruh bentuk ikatan primordial. Dengan silaturahim, sistem nilai yang dibangun para pecinta Ahlulbayt Nabi as. seperti tawhid, keadilan Ilahi, kenabian, imamah, dan qiyamah menjadi terpelihara. Secara pasti, silaturahim akan menyatukan komunitas Syi’ah pada visi dan orientasi yang jelas. Hal ini dimungkinkan mengingat platform Imamah dalam paham Syi’ah memiliki ketegasan dan kejelasan dibandingkan dengan konsep-konsep kepemimpinan mazhab manapun.

Bagi komunitas Syi’ah, silaturahim dalam makna fungsional ini menuntut sikap kritis agar pemihakan (berwilayah) kepada Ahlulbayt Nabi as. dapat dibuktikan secara rasional. Menempatkan silaturahim sebagai proses transformasi dan pelembagaan sistem nilai bermakna adanya tuntutan untuk membuka ruang dialog kritis dan pertanyaan yang serius: sejauh mana sistem nilai Syi’ah mampu diterapkan dalam dunia kehidupan (lebenswelt) masyarakat secara optimal. Apresiasi terhadap pertanyaan ini selayaknya dikembalikan kepada pribadi masing-masing. Dengan pertanyaan instrospektif ini, diharapkan seorang Syi’ah tidak terpaku pada masa lalu, tanpa mengemban suatu tanggung jawab sosial di masa depan. Dengan demikian, ia akan melepaskan klaim kebenaran (truth claim) secara historis an sich dan bergerak menuju suatu intizhar (penantian Imam Zaman) yang positif. Ia tidak hanya hapal sejarah berdarah para Imam Ahlulbaytas. namun ia akan menciptakan sejarah --dengan kepemimpinan Al-Mahdi as.-- guna menegakkan keadilan dan kebenaran.

3. Sebagai proses aktualisasi sunnah yang hidup
Islam sebagai sistem gagasan yang serba mencakup menuntut pembumian atau realisasi. Jika kedua dimensi fungsional silaturahim tersebut bermuara pada fungsi baik pada kekuatan sejarah maupun sistem nilai, maka silaturahim sebagai proses aktualisasi ini menjadi jabaran nyata dalam realitas sosio-kultural masyarakat kita. Seluruh tema Al-Quran Suci yang menjadi ciri khas dalam kehidupan masyarakat Muslim -seperti fastabiqul khairat, ta’awun, tawshiyah dsb- menjadi aktual. Silaturahim, dengan demikian, akan mengajak kita untuk mewarisi tradisi Para Nabi dan Para Imam as. Inilah sunnah yang hidup yakni tradisi yang mengharuskan terjadinya perubahan (transformasi) baik secara individual maupun sosial.
Ketiga dimensi fungsional inilah yang penulis pandang akan menjadikan silaturahim memenuhi makna hadis yang dikutip di muka yakni proses menciptakan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia.
Selanjutnya, makna silaturahim ini akan terefleksikan secara khas dan sakral baik secara individual maupun sosial yang akan penulis coba elaborasi dalam dua sub tema berikut .

Silaturahim dan Transendensi
Ketiga dimensi fungsional silaturahim tersebut penulis anggap sebagai premis-premis utama dalam membicarakan titik artikulasi yang tegas antara silaturahim dan transendensi. Seperti yang telahdisebutkan, ketiga dimensi tadi berarak menuju pada satu muara yaitu menghadirkan Tuhan dalam diri manusia. Pertama-tama ini harus dipahami lebih bercorak individual yaitu bagaimana silaturahim ini menjadi manifestasi agung sebagai bukti penyerahan total kepada Tuhan Yang Penyayang (Al-Rahim). Di sini jelas, silaturahim bersifat habluminallah (transenden) dan sakral dan bukan aktivitas interaksi fisis dan mekanis. Keadaan seperti ini amat bergantung kepada pengalaman spiritualitas dan pencerahan ruhani seseorang yang tentu perlu latihan terus menerus.

Dalam hadis qudsi, misalnya, disebutkan bahwa Allah menisbatkan diri-Nya sebagai orang yang sakit, orang yang lapar, yang menegur manusia yang tidak menengok-Nya. Menengok orang yang sakit, memberi makan orang yang lapar seolah -olah merupakan perjumpaan antara seorang manusia dengan Tuhan. Seluruh gerak psiko-motorik manusia pada hakikatnya merupakan manifestasi dari kecenderungan batin manusia, demikian Iqbal ketika menjelaskan relasi antara gerak manusia dengan ego-nya. Berarti di sini, dengan meminjam ungkapan Iqbal tadi, terdapat relasionitas antara pemikiran (pengetahuan) dengan perspektif dirinya (eksistensinya). Teori ini penulis pandang mampu menjabarkan fenomena-fenomena sosial yang nampak dalam masyarakat kita seperti keterasingan (alienasi), krisis eksistensial, rasa pesimis antara cita dan harapan yang kesemuanya jelas diakibatkan pemikiran yang dihasilkan dari pergulatan dengan realitas sosialnya. Intensitas pergulatan dengan pemikiran dalam konteks pemihakan yang jelas (berwilayah) kepada Ahlul bayt Nabi as. akan mengeliminasi berbagai problem-problem tersebut. Secara normatif, hal ini telah diisyaratkan oleh Nabi Islam Saw. yang menyatakan bahwasanya berpegang kepada Ahlulbaytnya akan menyelamatkan manusia dari bencana dan kebinasaan. Sejauh mana pemihakan (berwilayah) kepada Ahlulbayt Nabi Saw. mampu memecahkan persoalan amat tergantung kepada kemampuan untuk membisosiasikan (:menafsirkan dan mengaitkan antara teks/fakta yang satu dengan teks/fakta yang lain) realitas dengan pijakan normatif dari mereka - alaihimussalam.

Silaturahim akan meyelaraskan pemikiran setiap individu, karena wacana spiritual dan intelektual yang terjadi akan memberikan kerangka yang jelas bagi setiap interpretasi kehidupan. Dengan silaturahim, landasan gerak individu mempunyai tarikan yang jelas dengan konsep kepemimpinan (Imamah) yang hakiki, karena pemihakan yang dilakukannya. Silaturahim dalam spektrum yang lebih luas, baik dari makna silaturahim gagasan maupun silaturahim emosional akan mengantarkan individu pada pengenalan yang lebih dalam tentang Tuhan. Silaturahim yang ditempatkan pada kenyataan hidup ini pada gilirannya akan mengajak setiap individu untuk mengabdi dan melayani secara total seluruh kehidupannya kepada Yang Mutlak.

Silaturahim dan Ummah
Al-Quran meletakkan amanah kepada kaum Muslimin dua hal : transedensi dan ummah. Dengan mengutip Roger Garaudy, Ummah merupakan suatu masyarakat yang didasarkan pada sistem nilai (kepercayaan), dan bukannya dalam arti yang terdapat dalam komunitas keagamaan. Ummah adalah masyarakat yang tidak saja bersifat religius, namun di dalam masyarakat itu keimanan memasuki segala tindakan --dan karenanya sistem tindakan mengandung dimensi esoterik. Kehidupan menjadi bukan kehidupan pribadi semata tetapi par excellence kehidupan sosial dan kehidupan politik.
Senada dengan Garaudy, adalah penting untuk kita mengutip pendapat dari Muthahhari ihwal ciri-ciri Ummah. Dalam bukunya yang berjudul Masyarakat dan Sejarah (1992:21-24), Muthahhari menyebutkan bahwasanya Ummah (society) merupakan
:
Suatu senyawa sejati, sebagaimana senyawa-senyawa alamiah. Tetapi, yang disintesis di sini adalah jiwa, pikiran, kehendak, serta hasrat, sintesisnya bersifat kebudayaan, bukan kefisikan. Unsur-unsur bendawi, yang dalam proses aksi dan reaksi, saling susut dan lebur, menyebabkan munculnya suatu wujud baru, dan berkat reorganisasi ini, mewujudlah suatu senyawa baru, dan unsur-unsur itu terus maujud dengan identitas baru.... yang diistilahkan sebagai "jiwa kemasyarakatan".
Pendeknya, dalam Ummah terdapat : gagasan sejarah bersama, tujuan bersama, catatan-bersama perbuatan, kesadaran, pengertian, perasaan, dan perilaku bersama. Silaturahim, sekali lagi, akan mampu melahirkan konsep Ummah yang ideal sesuai dengan pandangan Al-Quran.

Dari sana, akan terlahir suatu gagasan sejarah bersama, cita-cita bersama, damn sampai pada akhirnya timbul perilaku bersama. Tentu ini tidak berarti mengingkari adanya perbedaan yang bersifat inheren pada setiap manusia.

Khulasah
Dari paragraf-paragraf tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwasanya silaturahim tidak semata-mata bersifat kontak fisik. Akan tetapi, ia memiliki makna spiritual dan historis yang tinggi. Dalam silaturahim terdapat tiga dimensi fungsional yang akan bermuara pada dua noktah yakni transendensi dan ummah.
Ketiga dimensi fungsional tersebut adalah sebagai: (1) proses kekuatan sejarah; (2) proses tranformasi dan pelembagaan sistem nilai dan; (3) proses aktualisasi sunnah ang hidup.

Semoga dengan ibadah puasa Bulan Ramadhan silam serta Hari Raya Iedul Fitri yang kita laksanakan mampu menyegarkan kembali makna silaturahim dan menghidupkan silaturahim terus menerus dengan seluruh makna yang terkait.

Semoga Bermanfaat!


Silaturahim ( Menyiram Pohon Persaudaraan )

Persaudaraan kadang seperti tingkah dahan-dahan yang ditiup angin. Walau satu pohon, tak selamanya gerak dahan seiring sejalan. Adakalanya seirama, tapi tak jarang berbenturan. Tergantung mana yang lebih kuat: keserasian batang dahan atau tiupan angin yang tak beraturan.

Indahnya persaudaraan. Sebuah anugerah Allah yang teramat mahal buat mereka yang terikat dalam keimanan. Segala kebaikan pun terlahir bersama persaudaraan. Ada tolong-menolong, terbentuknya jaringan usaha, bahkan kekuatan politik umat.
Namun, pernik-pernik lapangan kehidupan nyata kadang tak seindah idealita. Ada saja khilaf, salah paham, friksi, yang membuat jalan persaudaraan tidak semulus jalan tol. Ketidakharmonisan pun terjadi. Kebencian terhadap sesama saudara pun tak terhindarkan.

Muncullah kekakuan-kekakuan hubungan. Interaksi persaudaraan menjadi hambar. Sapaan cuma basa-basi. Tidak ada lagi kerinduan. Sebaliknya, ada kekecewaan dan kebencian. Suatu hal yang sulit ditemukan dalam tataran idealita persaudaraan Islam.
Lebih repot lagi ketika disharmoni itu menular ke orang lain. Keretakan persaudaraan bukan lagi hubungan antar dua pihak, bahkan merembet. Penyebarannya bisa horisontal atau ke samping, bisa juga vertikal atau atas bawah. Para orang tua yang berseteru, anak cucu pun bisa ikut kebagian.

Rasulullah saw. pernah mengingatkan itu dalam sabdanya, “Cinta bisa berkelanjutan (diwariskan) dan benci pun demikian.” (HR. Al-Bukhari)
Waktu memang bisa menjadi alat efektif peluntur kekakuan itu. Saat gesekan menghangat, perjalanan waktulah yang berfungsi sebagai pendingin. Orang menjadi lupa dengan masalah yang pernah terjadi. Ada kesadaran baru. Dan kerinduan pun menindaklanjuti.

Kalau berhenti sampai di situ, bisa jadi, perdamaian cuma datang dari satu pihak. Karena belum tentu, waktu bisa menjadi solusi buat pihak lain. Kalau pun bisa, sulit memastikan bertemunya dua kesadaran dalam rentang waktu yang tidak begitu jauh.
Perlu ada cara lain agar kesadaran dan perdamaian bertemu dalam waktu yang sama. Dan silaturahim adalah salah satunya. Inilah cara yang paling ampuh agar kekakuan, ketidaksepahaman, kekecewaan menjadi cair. Suasana yang panas pun bisa berangsur dingin.

Dengan nasihat yang begitu sederhana, Rasulullah saw. mengajarkan para sahabat tentang keunggulan silaturahim. Beliau saw. bersabda, “Siapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah menyambung tali silaturahim.” (Muttafaq ‘alaih)
Menarik memang tawaran Rasul tentang manfaat silaturahim: luasnya rezeki dan umur yang panjang. Dua hal tersebut merupakan simbol kenikmatan hidup yang begitu besar. Bumi menjadi begitu luas, damai, dan nyaman. Sehingga, kehidupan pun menjadi sangat berarti.

Masalahnya, tidak mudah menggerakkan hati untuk berkunjung ke orang yang pernah dibenci. Mungkin masih terngiang seperti apa sakitnya hati. Begitu berat beban batin. Berat. Terlebih ketika setan terus mengipas-ngipas bara luka lama. Saat itulah, setan memposisikan diri seseorang sebagai pihak yang patut dikunjungi. Bukan yang mengunjungi. Kalau saja bukan karena rahmat Allah, seorang mukmin bisa lupa kalau ‘izzah bukan untuk sesama mukmin. Tapi, buat orang kafir.

Firman Allah swt. “Hai orang-orang yang beriman, siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintaiNya, yang bersikap adzillah (lemah lembut) terhadap orang mukmin, yang bersikap ‘izzah (keras) terhadap orang-orang kafir….” (QS. 5: 54)
Setidaknya, ada tiga persiapan yang mesti diambil agar silaturahim tidak terasa berat. Pertama, murnikan keinginan bersilaturahim hanya karena Allah. Ikatan hati yang terjalin antara dua mukmin adalah karena anugerah Allah. Ikatan inilah yang menembus beberapa hati yang berbeda warna menjadi satu cita dan rasa. Sebuah ikatan yang sangat mahal.

Maha Benar Allah dalam firman-Nya, “dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka….” (QS. Al-Anfal: 63)
Jangan pernah selipkan maksud-maksud lain dalam silaturahim. Karena di situlah celah setan memunculkan kekecewaan. Ketika maksud itu tak tercapai, silaturahim cuma sekadar basa-basi. Silaturahim tinggallah silaturahim, tapi hawa permusuhan tetap ada.

Kedua, cintai saudara seiman sebagaimana mencintai diri sendiri. Inilah salah satu cara mengikis ego diri yang efektif. Ketika tekad ini terwujud, yang terpikir adalah bagaimana agar bisa memberi. Bukan meminta. Apalagi menuntut.
Akan muncul dalam nurani yang paling dalam bagaimana bisa memberi sesuatu kepada saudara seiman. Termasuk, memberi maaf. Meminta maaf memang sulit. Dan, akan lebih sulit lagi memberi maaf.

Hal inilah yang paling sulit dalam tingkat keimanan seseorang. Rasulullah saw. bersabda, “Tidak beriman seseorang di antara kamu, sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri.”
Ketiga, bayangkan kebaikan-kebaikan saudara yang akan dikunjungi, bukan sebaliknya. Kerap kebencian bisa menihilkan kebaikan orang lain. Timbangan diri menjadi tidak adil. Kebaikan yang bertahun-tahun bisa terhapus dengan kesalahan semenit.
Maha Benar Allah dalam firmanNya, “…Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa….” (QS. 5: 8 )

Tak ada yang pernah dirugikan dari silaturahim. Kecuali, tiupan angin ego yang selalu ingin dimanjakan. Karena, ulahnya tak lagi membuat tangkai-tangkai dahan berbenturan.

Semoga Bermanfaat!


Kamis, 18 Februari 2010

Iktikaf

Iktikaf berarti berdiam diri di dalam masjid dalam rangka untuk mencari keridhaan Allah SWT.

Jenis-jenis iktikaf
Iktikaf yang disyariatkan ada dua macam: iktikaf sunat dan wajib.
  1. Iktikaf sunnat adalah iktikaf yang dilakukan secara sukarela semata-mata untuk mendekatkan diri dan mengharapkan ridha Allah SWT seperti; iktikaf 10 hari terakhir pada bulan Ramadan.
  2. Iktikaf wajib adalah iktikaf yang dikarenakan bernazar (janji), seperti: "Kalau Allah SWT menyembuhkan penyakitku ini, maka aku akan beriktikaf.
 Waktu iktikaf

Iktikaf wajib tergantung pada berapa lama waktu yang dinazarkan, sedangkan iktikaf sunat tidak ada batasan waktu tertentu, kapan saja pada malam atau siang hari, waktunya boleh lama atau singkat.

Ya'la bin Umayyah berkata: "Sesungguhnya aku berdiam satu jam di masjid tak lain hanya untuk beriktikaf."

Syarat-syarat iktikaf
Orang yang iktikaf harus memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut:
  1. Muslim
  2. Berakal
  3. Suci dari hadats (junub), haid dan nifas.

Oleh karena itu, iktikaf tidak sah bagi orang kafir, anak-anak yang belum dewasa, orang junub, wanita haid dan nifas.

Rukun-rukun iktikaf :
  1. Niat (QS. Al Bayyinah : 5), (HR: Bukhari & Muslim tentang niat)
  2. Berdiam di masjid (QS. Al Baqarah : 187)

Di sini ada dua pendapat ulama tentang masjid tempat iktikaf. Sebahagian ulama membolehkan iktikaf di setiap masjid yang digunakan untuk salat berjamaah lima waktu.
Hal itu dalam rangka menghindari seringnya keluar masjid dan untuk menjaga pelaksanaan salat jamaah setiap waktu.

Ulama lain mensyaratkan agar iktikaf itu dilaksanakan di masjid yang digunakan untuk membuat salat Jumat, sehingga orang yang beriktikaf tidak perlu meninggalkan tempat iktikafnya menuju masjid lain untuk solat Jumat.

Pendapat ini dikuatkan oleh para ulama Syafi'iyah bahwa yang utama yaitu iktikaf di masjid jami', kerana Rasulullah saw iktikaf di masjid jami'. Lebih utama di tiga masjid; Masjid al-Haram, Masjid Nabawi dan Masjid Aqsa.

Hal-hal yang diperbolehkan bagi mutakif (orang yang beriktikaf):

  1. Keluar dari tempat iktikaf untuk mengantar istri, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw terhadap istrinya Sofiyah ra. (HR. Riwayat Bukhari dan Muslim)
  2. Menyisir atau mencukur rambut, memotong kuku, membersihkan tubuh dari kotoran dan bau badan.
  3. Keluar untuk keperluan yang harus dipenuhi, seperti membuang air besar dan kecil, makan, minum (jika tidak ada yang mengantarkannya), dan segala sesuatu yang tidak mungkin dilakukan di masjid, tetapi ia harus segera kembali setelah menyelesaikan keperluannya .
  4. Makan, minum, dan tidur di masjid dengan senantiasa menjaga kesucian dan kebersihan masjid.
  5. Menemui tamu di masjid untuk hal-hal yang diperbolehkan dalam agama

Hal-hal yang membatalkan iktikaf
  1. Meninggalkan masjid dengan sengaja tanpa keperluan walaupun sebentar.
  2. Murtad ( keluar dari agama Islam )
  3. Hilangnya akal, karena gila atau mabuk
  4. Haid atau nifas
  5. Bersetubuh dengan istri (QS. 2: 187), akan tetapi memegang tanpa syahwat, tidak apa-apa sebagaimana yang dilakukan Nabi dengan istri- istrinya.
  6. Pergi solat Jumat (bagi mereka yang membolehkan iktikaf di surau yang tidak digunakan untuk solat Jumat).
Semoga Bermanfaat !


IKTIKAF DAN CINTA MASJID

Masjid adalah tempat istimewa bagi umat islam. Tidak ada tempat yang lebih menyejukkan hati daripada masjid, apalgi dibulan Ramadlan. Masjid adalah tempat berkumpulnya hati-hati yang merindukan ketenangan jiwa dan kedekatan dengan Yang Maha Kuasa.

MASJID laksnana oase bagi orang-orang yang sedang kehausan di tengah terik matahari, kolam air bagi ikan-ikan yang ingin menikmati kehidupan. Masjid ibarat pantai wisata hati untuk berselancar melawan deburan ombak kehidupan yang menghimpit hati yang sudah kusam dan kelam. Lebih dari itu, masjid adalah sarana untuk membersihlan dan menyucikan diri untuk meraih ketakwaan dan ampunan serta cinta kasih Allah Yang Maha Suci, sebagaimana firman-Nya : “ …. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar taqwa sejak hari pertama(Masjid Quba) adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. Dalam masjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan sesungguhkan Allah menyukai orang-orang yang bersih. ( QS. At-Taubah : 108 ).

Disamping berfungsi sebagai tempat sholat berjamaah dan Sholat jum’at, masjid juga memiliki fungsi-fungsi lain seperti fungsi pembinaan, baik mental spiritual maupun intelektual melalui kegiatan pendidikan, pengajian dan taklim. Juga fungsi social, dengan memerkuat ikatan ukuwah serta hubungan silahturrahim antar jamaah. Bahkan masjid pun bisa menjadi pusat kendali strategi perjuangan umat sebagaimana fungsi itu pernah dijalankan di masa Rosulullah SAW.

Melihat fungsi masjid dan peran masjid yang sedemikian strategis, tidak sepantasnya umat islam sekadar tertegun melihat kemegahan bangunan masjid dengan ornament-ornamen indah di semua sudut-sudutnya, sementara bangunan yang megah itu tidak semegah fungsi dan peran yang dimainkannya.

Ratusan juta bahkan milyaran rupiah dana yang terkumpul dari jamaah masjid adalah amanah yang berat bagi para takmir atau pengurus masjid untuk mengembalikan peran dan fungsi masjid menjadi lebih berdaya guna bagi peningkatan kualitas umat. Diperlukan kreativitas yang tinggi agar masjid memiliki daya tarik kuat bagi kaum muslimin sehingga hati mereka tergerak untuk ikut memikikirkan dan mengambil peran bagi kelestarian dan pemberdayaan masjid.

Pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan ini, kaum muslimin berlomba-lomba meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadahnya kepada Allah SWT untuk mendapatkan Lailatul Qadar. Sungguh merupakan keutamaan yang tidak akan Allah berikan pada malam-malam lain sepanjang tahun. Keberadaannya hanya ada pada salah satu malam di bulan Ramadan, khususnya pada sepuluh hari yang terakhir, sebagaimana sabda Nabi saw : “Berlombalah mendapatkan Lailatul Qadar pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadan” (Hadist Muttafaq ‘Alaih dari Aisyah ra).

Oleh karenanya masjid menjadi salah satu tujuan favorit bahkan menjadi tumpuan kaum muslimin di seluruh dunia untuk melaksanakan ibadah iktikaf, suatu amalan sunnah yang di ajarkan bahkan dicontohkan langsung oleh Rasulullah Saw.

Apa saja yang biasa dilakukan oleh Rasulullah Saw saat memasuki sepulum malam terakhir dan ber-iktikaf di masjid? Sebagian riwayat menjelaskannya sebagai berikut :
  1. Rasulullah Saw beriktikaf di masjid selama sepuluh hari bahkan pada tahun wafatnya beliau beriktikaf selama dua puluh hari (HR. Bukhori).
  2. Rasulullah Saw melaksanakan ibadah iktikaf setiap tahun sampai beliau wafat (HR. Muttafaq ‘Alaihi).
  3. Rasulullah Saw bersungguh-sungguh dalam beribadah pada malam-malam itu lebih dari hari-hari lainnya. (HR. Muslim).
  4. Rasulullah Saw menghidupkan malam-malamnya dengan ibadah. Beliau bangunkan seluruh keluarga, Beliau sangat bersungguh-sungguh, mengencangkan ikat pinggangnya (HR. Muttafaq ‘Alaihi).
  5. Rasulullah Saw mengajarkan kepada Aisyah agar memperbanyak membaca doa : “ Ya Allah, sungguh Engkau Dzat Yang Maha Pengampun dan Engkau suka memberi ampunan, maka ampunilah aku.” (HR. Tarmidzi).
  6. Para Ulama memberikan penjelasan berdasarkan hadis-hadis lain agar kita memperbanyak qiyamul lail, tilawah Al-Qur’an, berdzikir dengan tasbih, tahmid, tahlil dan takbir, melakukan muhasabah, berdo’a, bertaubat dan memohon ampunan atas dosa-dosa kita selama ini.
Semoga Bermanfaat !