Setiap anak pasti pasti akan berbuat salah. Tugas orangtua bukan untuk menyalahkan, tapi menyemangati agar mereka bisa bangkit dan memperbaiki kesalahannya.
Suatu hari Aa dan istri sempat dibuat cemas. Sebabnya, salah seorang anak laki-laki kami yang sudah beranjak remaja tidak pulang tepat waktu seperti biasanya. Padahal saat itu hari sudah malam. Tidak ada seorang pun orang rumah yang tahu ke mana ia pergi, termasuk para santri. Biasanya anak itu selalu meminta izin atau memberitahukan terlebih dulu bila hendak bepergian.
Alhamdulillah, beberapa saat setelah itu ia datang. Selidik punya selidik ternyata anak saya itu pergi bersama teman-temannya ke pasar Inpres untuk membeli makanan. Ingin rasanya saya marah. Tapi saya sadar bahwa marah tidak akan menyelesaikan masalah, malah akan membuat masalah makin rumit.
Akhirnya saya mengajak dia berdialog. Ternyata dengan dialog yang dikemas secara santun dan tidak menghakimi, permasalahan bisa diselesaikan dengan baik. Anak mau terbuka, mau mengakui kesalahan, bahkan dengan kesadaran sendiri ia mau mempertanggungjawabkan kesalahannya.
Saudaraku, kita harus selalu berlaku bijak dalam menyikapi perilaku anak-anak kita. Sebabnya, setiap fase pertumbuhan anak membutuhkan cara mendidik dan cara mengarahkan yang berbeda. Fase bayi tidak bisa didekati dengan pola pendidikan untuk usia tiga tahun. Begitupula pola pendidikan untuk anak usai tiga tahun tidak bisa dipakai untuk anak usia lima atau enam tahun. Demikian pula ketika mengadapi anak yang sudah remaja alias ABG.
Sebenarnya ada peran-peran tertentu yang harus dimainkan orangtua dalam mendidik anaknya. Menghadapi anak yang telah remaja misalnya, orangtua harus bisa memposisikan dirinya sebagai teman. Jalin komunikasi dengan mereka layaknya kepada teman, karena anak seusia itu membutuhkan teman untuk berkomunikasi dan tempat curhat.
Bagaimana memulainya? Pertama, terapkanlah prinsip Aku Bukan Ancaman Bagimu saat berhubungan dengan anak. Hal ini sangat penting, karena seseorang berubah karena paham. Paham itu datang karena adanya komunikasi. Dan komunikasi itu akan baik kalau ada rasa aman. Bila anak sudah merasa aman atau nyaman berkomunikasi dengan kita, maka ia akan lebih terbuka. Ketika melakukan kesalahan, biasanya ia akan dengan sukarela mengaku pada orangtuanya. Sebaliknya, kalau mereka sudah takut dan merasa terancam, maka komunikasi pun tidak akan berlangsung baik. Karena itu, bertanyalah selalu, apakah anak-anak merasa aman berkomunikasi dengan kita atau tidak?
Kedua, ciptakan komunikasi suportif, menyemangati, dan tidak melemahkan. Setiap anak pasti akan berbuat salah. Dalam kondisi seperti ini posisi orangtua, idealnya, bukan sebagai pihak yang menyalahkan, tapi sebagai pihak yang menyemangati si anak agar bisa bangkit dan memperbaiki kesalahannya. Ingat kisah seorang anak yang mengadu pada bapaknya, "Maaf Pak, nilai saya empat". Lalu dijawab oleh Bapaknya, "Hah, empat? Hebat dong, Bapak dulu dapat 3,5. Bapak malu, tapi setelah itu jadi rajin belajar, berusaha belajar mati-matian. Eh setelah itu jadi bintang kelas. Ayo bangkit, belajar sunggung-sungguh!".
Ketiga, terbuka dan suka dikoreksi. Jangan malu mengakui kesalahan atau kekurangan diri. Jangan ragu untuk belajar pada anak, jika memang mereka memiliki ilmu yang belum kita miliki. "Ayo Nak, kasih masukan pada Bapak!". Maka, di sinilah pentingnya kita mengembangkan dialog yang jujur.
Tidak sedikit orangtua yang memaksakan anaknya untuk selalu menerima pendapat atau jalan pikiran sendiri. Bila berkomunikasi, tanpa sadar mereka menerapkan komunikasi satu arah; "saya bicara, kamu mendengar". Yang lebih tepat justru "kamu bicara, saya mendengar".
Sikap otoriter berpotensi menghancurkan harga diri anak. Bila dibiarkan berlarut-larut si anak akan memiliki pandangan negatif terhadap diri dan orangtuanya. Lebih fatal lagi, mereka bisa menunjukkan sikap melawan, baik secara terselubung maupun terang-terangan. Anak pun menjadi takut untuk mengambil keputusan, kurang percaya diri, mudah sakit, dan menjadi emosional akibat tekanan perasaan.
Dengan demikian, jika terjadi perbedaan pendapat, pendekatan demokratis dan terbuka jauh lebih bijaksana. Salah satu caranya adalah dengan membangun rasa saling pengertian, di mana masing-masing pihak berusaha memahami sudut pandang pihak lain. Di sini, lagi-lagi orangtua yang harus mengawali. Wallahu a'lam bish-shawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar