Pada suatu hari malam Sa’ad bin Abi Waqqash terbangun dari tidurnya. Tampaknya, ia bermimpi yang cukup mencemaskan. Ia merasa terbenam dalam kegelapan. Kerongkongannya sesak, nafasnya terengah-engah, keringatnya bercucuran. Keadaan sekelilingnya gelap gulita.
Dalam keadaan demikian, tiba-tiba ia melihat seberkas cahaya dari langit. Cahaya itu membuat seluruh bumi terang-benderang. Kemudian, ia melihat tiga lelaki yang setelah diamatinya ternyata Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar bin Abi Quhafah dan Zaid bin Haritsh.
Mimipi itu mengusik benaknya. Ia tidak mau memejamkan mata lagi untuk tidur sebelum misteri mimpinya itu terpecahkan. Ia jadi sering diam termenung. Bahkan, makan pagi yang rutin dilakukan bersama ibunya enggan disengtuhnya. Saat itu, Sa’ad masih berusia tujuh belas tahun.
Ibu Sa’ad, Hamnah binti Suyan bin Abu Umayyah, adalah seorang wanita kaya keturunan bangsawan Quraisy. Ia berparas cantik, anggun, dan terkenal berwawasan luas. Tapi, ia sangat setia kepada agama nenek moyangnya (paganisme). Sa’ad sendiri bekerja sebagai perajin tombak dan lembing dan dijual kepada pemuda-pemuda Makkah yang gemar berburu.
Pada suatu hari, Abu Bakar mendatangi tempat kerja Sa’ad. Ia memyampaikan berita tentang diutusnya Muhammad sebagai Rasul Allah. Sa’ad langsung bertanya siapa saja orang yang telah beriman. Abu Bakar memberitahu kalau sudah ada dua orang selain dirinya. Yaitu Ali bin Abi Thalib dan Zaid bin Haritsh. Wajah Sa’ad pun bersinar. “Rupanya, inilah makna mimpi yang selama ini telah membuatku cemas,” gumamnya dalam hati. Ia”pun mendatangi Muhammad untuk mengucapkan dua kalimat syahadat.
Tapi, keputusan Sa’ad ber Islam ini mendapat hambatan dari ibunya. Meski ia merahasiakan keimanannya dari ibunya karena takut membuat luka hatinya, akhirnya ketahuan juga. Saat sedang bersujuda kepada Allah, secara tidak sengaja Hamnah melihatnya. Dengan nada sedikit marah, iapun bertanya, “ Sa’ad, apa yang sedang kamu lakukan?” Sa’ad yang sedang “bercinta” (‘asyiq masyuq) dengan Allah, tidak menghiraukan teguran ibunya.
Seusai salat, ia berbalik menghadap ibunya seraya berkata lembut, “Ibu, anakmu tadi bersujud kepada Allah yang Esa. Pencipta langit dan bumi dan segala yang ada diantaranya.” Jawaban Sa’ad ini membuat Hamnah naik darah, dan berkata, “Rupanya kamu telah meninggalkan agama nenek moyang. Ibu tidak rela, wahai anakku. Tinggalkan agama itu dan kembalilah kepada agama nenek moyang kita yang telah sekian lama kita anut.”
Tapi Sa’ad menolak lembut. Kemarahan Hamnah pun semakin menjadi-jadi hingga ia berjanji tidak akan makan dan minum samapai Sa’ad kembali pada agamanya semula. Sehari berlalu, ibunda Sa’ad tetap mogok makan. Meski hati merintih melihat ibunya, tetapi keyakinan Sa’ad terlalu mahal untuk dikorbankan. Sa’ad pun merayu ibunya untuk diajak makan bersama, tapi tetap tak digubris. Sa’ad terpaksa makan sendirian. Hari kedua, Hamnah semakin lemas. Sa’ad pun semakin sedih melihatnya.
Hari berikutnya, Sa’ad kembali merayu ibunya agar mau makan. Namun, Hamnah tetap menolak. Tetapi Sa’ad tetap pendiriannya tak hendak menjual keimanannya kepada Allah dengan apapun sekalipun dengan nyawa ibu yang dicintainya.
Sa’ad kemudian menegaskan, “Demi Allah, ketahuilah, wahai ibu, seandainya ibu memiliki seratus nyawa, lalu ia keluar satu persatu, aku tidak akan meninggalkan agamanya ini walau ditebus dengan apa pun juga. Sekarang terserah ibu, apakah ibu akan makan atau tidak.”
Kata kepastian yang diucapakan Sa’ad membuat Hamnah mulai mengerti dan sadar kalau anaknya telah memegang teguh keyakinannya. Untuk menghormati ibunya, Sa’ad kembali mengajaknya makan dengannya. Akhirnya, Hamnah pun bersedia memenuhi ajakan anaknya untuk makan bersama. Hati Sa’ad sangat gembira.
Esok harinya, Sa’ad pergi menemui Nabi di rumahnya. Saat ia berada di tengah majelis Nabi, Allah menurunkan wahyu yang mendukung pendirian Sa’ad. “Dan kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada ibu-bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah lemah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kedua Ibu-Bapakmu, hanya kepada-Ku-lah tempat kamu kembali. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka jangan kamu turuti keduanya, dan bergaullah dengan keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang-orang yang kembali kepada-KU, kemudian hanya kepada-Ku lah tempat kembalimu. Maka, Ku-beritahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Luqman : 14-15). “Mudah-mudahan kita bukan termasuk orang yang gemar menjual agama demi kepentingan dunia yang fana ini. Amin ya Rabbal’alamin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar